Minggu, 10 Februari 2013

Cerpen

SEPATU HITAM



Saya tidak punya sepatu hitam. Kalaupun pernah, itu dulu. Tiga tahun lalu. Duluuuuuuuuu, saat pertama duduk di bangku sekolah menengah yang pertama. Saya terpaksa memakai sepatu hitam yang sempit entah entah pemberian siapa, yang jelas ada di boks-boks sumbangan. 
Sungguh, swear, beneran gara-gara sepatu itu, setiap pulang sekolah kaki saya benar-benar lecet. Kalau bukan karena ancaman selama masa penataran (sekarang diganti dengan masa orientasi), bahwa guru-guru akan mengecat hitam sepatu murid baru yang berwarna selain hitam polos, ngapain saya berlecet-lecet ria. Waktu itu saya tidak melihat ada satu siswa pun yang melanggarnya. Begitu pula saya. Yang jelas, saya tetap tidak suka peraturan itu.
Untung saja, saat ini, setelah masa orientasi SMU, belum saya temukan aturan itu. Setidaknya sampai menit-menit ini.
...
Jam pelajaran terakhir kadang terasa menyebalkan bagi saya mungkin karena pada saat-saat itu saya sudah kehabisan energi dan yang namanya matahari sedang panas-panasnya. Kadang saya suka tertidur di kelas, kadang juga mengulum permen. Kalau gurunya enggak galak-galak banget, saya pun mojok dan ngerumpi dengan teman-teman saya. Alasannya tentu saja menghilangkan borring, suntuk, selama mendengar guru mengoceh, mengerjakan tugas dan sebagainya.
Terdengar suara ketukan. Ada Pak Darwin yang memasuki ruangan kelas. Teman-teman saya mulai heboh. Guru yang satu memang paling rajin dalam soal razia, soal operasi-operasian. Beliau guru pelajaran PPKN, dan kebetulan saya tidak diajar oleh beliau ini.
Hari senin besok dan seterusnya, setiap siswa wajib memakai sepatu warna hitam, bla bla bla. Seperginya beliau, kelas pun ramai. ada banyak yang memakai sepatu selain hitam di kelas saya.
"Mengapa mesti hitam ya, Ben?" tanya saya pada Iben. Iben mengangkat bahu.
"Lucu deh, Ben. Kenapa juga aturan tentang warna sepatu itu enggak didiskusikan sama siswa?"
"Seharusnya pihak pimpinan sekolah dan guru tidak zaman lagi untuk mutlak-mutlakkan, mereka harus berubah. Harusnya mereka ngasih contoh bagaimana hidup demokrasi," Iben pun berdiplomasi.
Ekki menyemangati saya. "Makanya, Senin nanti aku bolos saja, Lan. Kamu juga, dong"
"Atau kita sembunyi, enggak ikut upacara," Iben menambahkan sambil cekikikan.
...
Saya belum bis amemahami dan (mungkin) tidak akan bisa memahami maksud aturan di sekolah saya (mungkin juga di sekolah yang lain) bahwa semua siswa-siswi, tanpa terkecuali, wajib memaki sepatu hitam. Sekalipun Erien, teman sebangku yang tidak terlalu saya kenal, meyakinkan dengan penuh semangat pada saya.
"Itu wujud keseragaman, Lan!"
"Keseragaman itu artinya kedisiplinan, begitu, maksudmu?"
"Kira-kira begitu."
"Jadi kalu sepatu tidak sama warnanya lalu tidak disiplin?"
"Tidak menaati aturan, tepatnya. Lagipula kalu semua siswa bersepatu seragam, tidak akan ada persaingan."
Saya tersenyum dalam hati. Kalau warnanya berbeda bisa membuat persaingan? Hmm, saya tidak melihat itu. Sya pikir, kalau memang mentalnya selalu ingin lebih, selalu tidak mau tersaingi, toh, dengan warna yang sama dengan yang lain pun dia tetap bisa beli sepatu yang harganya ratusan ribu. So, alasan itu terlalu mengada-ada. Lihat saja Alifia, cewek jetset teman sekelas saya yang juga anak seorang dokter. Sepatu hitamnya, yang ber hak platfrom itu luar biasa mahal. Saya yakin teman-teman saya dapat menebak bahwa harga sepatu bermerek terkenal itu, ehm, di atas dua ratus ribu rupiah.
Saya pu  hanya berdecak kagum melihat Avis, yang doyan gonta- ganti sepatu itu. Yang terakhir sepatu hitam mary jane-nya itu jelas-jelas butan Italia. Saya yakin sekali itu, karena saya pernah satu kali masuk ke butik sepatu itu, sekedar untuk lihat-lihat, tentunya. Kalau dikira-kira, mungkin harganya setara dengan biaya pebdaftaran mengikuti bimbingan EBTANAS di lembaga belajar paling mahal di kota saya.
Saya biarkan Erien tetap dalam pendapatnya dan saya dengan pendapat saya. Biarlah Erien suatu saat nanti akan mengerti sendiri, mengapa saya tidak menyetujui kewajiban sepatu hitam itu.
... 
Senin, dengan pagi yang cerah. Saya ingat, saat inilah hari penghabisan bagi siapapun yang memakai sepatu berwarna selain hitam di sekolah saya. Termasuk saya. Saya sudah memutuskan, saya tetap akan masuk sekolah dan tetap memakai sepatu saya yang berwarna putih ini. 
Saya, sih, bisa saja bertekad mendapatkan sepatu itu. Tapi masalahnya, honor saya sebagai penulis lepas di salah satu majalah remaja, belum juga datang. Sejak kemarin, saya bolak-balik mengintip kardus-kardus yang berisi sumbangan pakian, sepatu dan perlengkapan sekolah yang lain. Tapi satupun saya tidak temukan sepatu hitam polos dengan ukuran persis kaki saya disana. Sempat saya berpikir, saya menemukan sepatu yang kebesran sedikit, sehingga saya bisa mengganjal bagian tumitnya denagn kain, seperti Cinderella. Tapi ternyata tak ada. Sempat saya sensusu penghuni kamar-kamar sebelah. Tapi tidak ada yang ukuran kakinya seperti saya.
Saya merasa akan memberatkan Bu Tanti kalau meminta beliau membelikan sepatu untuk saya. Diberi makan dan dibayarkan uang sekolah saja saya sudah bersyukur. Lagipula, saya kan masih tetap tidak setuju dengan peraturan itu. Bodo amat! Jadi saya sudah siap apapun yang terjadi. Biarpun kenyataan hari ini adalah perampasan sepatu akan tetap berjalan. Sebab tidak akan ada mukjizat. Kalaupun hujan turun tiba, operasi itu bisa dilakukan di dalam kelas sewaktu jam pelajaran berlangsung. Pasrah sajalah, kecuali kalau memang mau, dengan sangat terpaksa sekali untuk memakai sepatu hitam.
Saya yang dengan pedenya melangkah memasuki gerbang sekolah, tinggal menunggu detik-detik bersejarah yang akan segera berlangsung selesai upacara bendera sebentar lagi. Tidak ada gunanya menuruti ajakan Ekky ataupun Iben. Cepat atau lambat, Pak Darwin yang tak kenal kata menyerah itu jelas akan mengadakan operasi mendadak bukan di hari Senin.
Erien menatap saya sedih. pede juga. Maka peristiwa itupun dimulai. Riqui, cowok kelas sebelah yang diam-diam sayua taksir, berada di barisan paling depan pun memandangi saya dan beberapa siswa yang lain barisan nekat bersepatu selain hitam. Mungkin itu karena saya satu-satunya cewek yang di jaring Pak Darwin, sayalah satu-satunya cewek yang sebentar lagi akan mengikuti pelajaran dengan bertelanjang kaki. Sedikit malu, memang. Tapi ya cuma sedikit.
...
Yang saya ingat, sudah dua hari saya sekolah dengan bersandal jepit. Meski kadang jadi bahan pelototan, mau apa lagi? Sepatu putih saya disita, hanya bisa diambil setelah saya memakai sepatu hitam. Sementara itu, dua teman saya, Iben dan Ekky, sudah memakai sepatu hitam sejak Selasa. Jaidi kloplah saya sebagai satu-satunya makhluk besandal jepit di kelas saya. Apa saya harus ikut-ikutan seperti di film Children of Heavens. Memakai sepatu bergantian dengan adik? (Oh, ada yang tertinggal, saya tidak punya saudara, saya tidak punya siapapun).
"Lan , apa perlu kita bilangin sama Pak Darwin bahwa kita Iben dan Ekky yang tahu siapa kamu, seperti apa kondisi kamu, hidup kamu, menawarkan bantuan?"
"Enggak. Enggak perlu. Makasih," saya mengambil permen, "Enakan begini, adem."
Iben tertawa,"He he he... emang enakan pakek sandal jepit. Funky lo."
Yang penting, bangku saya tetap paling pojok paling belakang. Aman dari perhatian guru, dan ada Iben dan Ekky yang akan berbaik hati meminjamkan sepatu hitamnya kalau ada guru yang menyuruh saya maju mengerjakan soal di papan tulis. Sekalipun kadang sepatu itu kurang sedap baunya.
...
Saya dipanggil Pak Darwin.
" Lani Firani? Kelas 1-6?" Pak Darwin membetulkan letak kacamatanya. "Yang nilai akhir SMP nya tertinggi?" Saya mengangguk tanpa semangat, "Benar, Pak."
"Masih juga belum memakai sepatu?"
"Belum, Pak."
Paka Darwin masih dengan raut muka yang sama, menegangkan.
"Alasan apa yang kamu bilang?"
Saya diam.
"Hanya karena takut ketinggalan mode, takut gengsi, mengorbankan peraturan sekolah."
Saya diam.
"Saya lihat kamu cukup mampu. Kamu punya tas sekolah yang layak, seragam yang baik."
Dalam hati saya ingin berteriak:"Itu pemberiaan orang, Pak!"
"Berapa pasang sepatumu?"
"Cuma satu, Pak."
Bla...bla...bla...
He he he..., klasik. Saya menghibur diri sendiri.
"Lalu kenapa kamu sok berani, enggak mau ngambil sepatu kamu yang disita? tidak mau pakai sepatu hitam?"
Saya diam.
"Jawab!"
"Saya harus menunggu."
"Menunggu apa? Menunggu bapak kamu yang akan dipanggil? Atau menunggu nilai budi pekerti kamu merah?"
Hati saya meringis. Perih.
Saya tidak punya Bapak.
"Jawab!"
"Saya berkata pelan, "Menunggu samapai honor menulis saya dimuat, atau menunggu pemberian orang."
"Apa hubungannya?"
"Saya, say a tinggal di panti asuhan, Pak."
Kali ini Pak Darwin kehilangan kata-kata.
...  

Diambil dari buku Jati Diri (Kumpulan cerpen kawanku 2004)
Oleh: Rafiqa Qurruta A'yun









Tidak ada komentar:

Posting Komentar